Pelaksanaan dan Penyelewengan Pilkada

Tribratanews.kepri.polri.go.id.

Dalam pelaksanaannya Pilkada dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di wilayah masing-masing. Tugas yang dilaksanakan KPUD ini sangat berat, yaitu mengatur pelaksanaan Pilkada ini agar dapat terlaksana dengan demokratis. Mulai dari seleksi bakal calon, persiapan kertas suara, hingga pelaksanaan Pilkada.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh para bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali. Seandainya para bakal calon tersebut kemudian berhasil menduduki posisinya, bagaimana nantinya nasib daerah tersebut, karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar.
Di sisi lain, biaya yang digunakan dalam masa pencalonan yang tidak sedikit, seringkali membuat calon terpilih melakukan segala cara agar biaya yang telah dikeluarkannya selama proses pencalonan dan pemilihan berlangsung, dapat kembali secepatnya, alias “balik modal”. Ini sangat berbahaya.
Dalam sebuah pelaksanaan Pilkada, pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Ketidakpuasan ini kerap berujung pada hal-hal yang negatif dan destruktif. Lihat saja, kasus pembakaran kantor KPUD di salah satu provinsi di Sumatra, misalnya. Ini membuktikan, sangat rendahnya kesadaran politik masyarakat yang terlibat dalam sebuah pesta demokrasi.
Tidak saja masalah muncul dari para bakal calon. KPUD juga tidak sedikit menyumbang persoalan. Di salah satu KPUD di Jakarta, para anggotanya terbukti mengemplang dana Pilkada. Korupsi dana Pilkada itu sempat memperlambat proses Pilkada.
Dapatlah dilihat seperti apa rendahnya mental para penjabat publik ini. Bahkan yang paling memalukan adalah, untuk sekadar meloloskan bakal calon yang tidak memunihi syarat, anggota KPUD meminta dana puluhan juta rupiah dari para bakal calon.
Sejumlah kecurangan yang dilakukan oleh para bakal calon, antara lain :
  1. Politik Uang.
Politik uang ini selalu saja menyertai setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan kondisi ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, para bakal calon membagi-bagikan uang kepada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, memudahkan para pelaku politik ini memperalat dan mengatur proses pemilihan di tingkat masyarakat pemilih. Barangkali, inilah sebabnya, untuk menjadi seorang kapal daerah, keahlian politik dan kemampuan memimoin saja tidak cukup. Mereka harus berbakal uang yang banyak.
  1. Intimidasi.
Beberapa oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Ini jelas-jelas melanggar peraturan pemilihan umum.
  1. Pendahuluan Start Kampanye.
Tindakan inilah yang paling sering terjadi. Modusnya beragam pula, seperti pemasangan baliho, spanduk, pembagian selebaran. Motif kunjungan kerja pun sering dilakukan, khususnya bagi calon incumbent. Intensitas kunjungan kerja ini akan makin tinggi saat mendekati pemilu. Media lokal bahkan sering digunakan sebagai alat kampanye dini. Para balon menyembunyikan visi-misi kampanyenya di balik berita-berita media. Ini juga disebabkan kurangnya pemahaman jurnalis terhadap pemilihan umum.
  1. Kampanye Negatif.
Ini dikarenakan, informasi masih dilihat sebagai sebuah hal yang tidak penting oleh masyarakat. Masyarakat hanya “menurut” pada sosok tertentu yang selama ini dianggap tokoh masyarakat. Kampanye negatif seperti ini dapat mengarah pada fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.


from Bhayangkara Tanjungpinang http://ift.tt/2GgXfVd
via IFTTT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Silaturahmi Polwan Ditsamapta Polda Kepri ke Sekolah Global Indo-Asia Batam Centre

Pangkat dalam Kepolisian